Drone Buatan Dalam Negeri Tak Dihargai Lokal Drone Heron
Riset drone atau pesawat udara nirawak (PUNA) di Indonesia ternyata tidak banyak berkembang. Dana yang minim dan cibiran menghantui perkembangan PUNA di Indonesia.
Menurut Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, Mohamad Dahsyat, sejak awal dikembangkan di BPPT tahun 2004, kegiatan riset PUNA hanya memiliki investasi total Rp 20 miliar. Ini artinya, BPPT hanya diberikan dana Rp 2 miliar dalam kurun setahun.
Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.
"Budget memang menjadi kendala. Selain itu juga kurangnya dukungan. Antara lain, orang kita yang selalu membandingkan produknya dengan negara-negara maju. Tentu saja tidak seimbang. Kita baru belajar, mereka sudah lama," papar Mohammad kepada VIVAnews, Kamis, 26 Juni 2014.
Memang tidak adil jika kita membandingkan drone produk lokal dengan luar negeri. Di Amerika, drone sudah digunakan untuk segala bidang, termasuk untuk persenjataan militer sampai pengiriman barang. Sama halnya dengan Rusia yang berencana memiliki drone 'pembunuh'.
Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara.
"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan photo kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.
Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.
"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.
PUNA buatan dalam negeri diberi nama Wulung yang merupakan hasil keroyokan antara PT Dirgantara Indonesia untuk mengurusi produksi, Lembaha Elektronik Nasional (LEN) untuk sistem komunikasi dan elektronik, serta BPPT untuk bagian riset dan pengembangan.
Dikatakan pemerhati persenjataan militer, Haryo Ajie Nogoseno, Wulung nantinya akan ditemani oleh 4 unit drone baru bernama Heron. Wulung dan Heron akan bersanding di Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.
"Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang di dukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime," papar pendiri situs Indomiliter.com ini.Teknologi Drone yang Belum Dikuasai RI Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus mengembangkan kemampuan teknologi pesawat nirawak (drone). Saat ini BPPT sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung dan Sriti, yang mana keduanya didesain untuk pengawasan perairan laut Indonesia.
Meski sudah mampu membuat pesawat nirawak secara mandiri, Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, mengakui penguasaan teknologi masih belum sepenuhnya dimiliki.
"Untuk desain pesawat kita sudah 100 persen kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," jelas Joko kepada VIVanews, Senin malam, 25 Juni 2014.
Bagian yang belum dikuasai itu merupakan bagian yang vital dalam pengawasan sebuah wilayah. Misalnya, pasa sisten komunikasi terdapat komponen kamera, muatan pesawat dan sensor, dan RI masih menggantungkan pada pasokan dari negara asing.
Namun BPPT terus mengembangkan komponen dari dalam negeri. Beberapa komponen pesawat nirawak yang sudah dibuat mandiri oleh Indonesia yaitu komponen untuk menghitung perbedaan tekanan udara agar mengetahui kecepatan pesawat.
"Sekarang kami sedang kembangkan komputer kendali terbang baik yang di pesawat maupun yang di darat. Software Ground Station juga sudah dibuat sendiri," jelas Joko.
Joko tak khawatir dengan membeli komponen sistem komunikasi dari luar bakal menimbulkan celah penyadapan pada data pengawasan.
Menurutnya, dengan pengetahuan mendalam pada program komunikasi, data pengawasan bisa dikelola secara aman.
"Yang penting kita bisa akses ke program, bisa ubah program, integrasi maupun troubleshooting sendiri. Itu nilai tambah," kata dia yang tetap menggarisbawahi kemandirian teknologi pesawat nirawak.
Transfer Teknologi
Upaya penguasaan teknologi tak dilupakan oleh BPPT. Joko mengatakan BPPT tengah mendidik pengembangan sumber daya manusia, agar nantinya mampu menguasai teknologi nirawak secara khusus.
"Ada yang kami sekolahkan ke luar negeri, harus ada strategi ini supaya mereka nanti dedicated untuk teknologi pesawat nirawak," ujarnya.
Upaya penguasaan teknologi ini juga melalui transfer teknologi, yang diamanahkan dalam UU NOmor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Dalam undang-undang itu tercantum amanah tranfer teknologi harus tercapai dalam setiap pembelian alutsista, termasuk alat yang merupakan bagian pesawat nirawak.
"Dari negara manapun, itu harus mengacu pada pokom transfer teknologi," ujarnya.Sejauh Mana Pengembangan Teknologi Drone RI? LSU 02 ujicoba di Diponegoro Class
Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.
Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.
"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia.
Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.
"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya.
Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.
Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.
Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.
Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.
"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.
Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.
Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).
Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.
Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.
"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya.
Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.
Riset drone atau pesawat udara nirawak (PUNA) di Indonesia ternyata tidak banyak berkembang. Dana yang minim dan cibiran menghantui perkembangan PUNA di Indonesia.
Menurut Kepala Bidang Teknologi Hankam Matra Udara BPPT, Mohamad Dahsyat, sejak awal dikembangkan di BPPT tahun 2004, kegiatan riset PUNA hanya memiliki investasi total Rp 20 miliar. Ini artinya, BPPT hanya diberikan dana Rp 2 miliar dalam kurun setahun.
Angka ini sangat jauh jika dibandingkan dengan dana riset drone yang digelontorkan Amerika. Menurut situs Singularityhub.com, dana riset PUNA untuk tahun 2001 hingga 2013 lalu menghabiskan US$ 26 miliar. Jika dihitung rata-rata per tahun, dana riset tersebut mencapai US$ 2,1 miliar atau sekitar Rp 21 triliun.
"Budget memang menjadi kendala. Selain itu juga kurangnya dukungan. Antara lain, orang kita yang selalu membandingkan produknya dengan negara-negara maju. Tentu saja tidak seimbang. Kita baru belajar, mereka sudah lama," papar Mohammad kepada VIVAnews, Kamis, 26 Juni 2014.
Memang tidak adil jika kita membandingkan drone produk lokal dengan luar negeri. Di Amerika, drone sudah digunakan untuk segala bidang, termasuk untuk persenjataan militer sampai pengiriman barang. Sama halnya dengan Rusia yang berencana memiliki drone 'pembunuh'.
Untuk biaya pembuatan memang membutuhkan investasi mahal. Satu buah drone diperkirakan memakan biaya 300 juta. Sedangkan untuk jasa penyewaan drone, meski murah namun tidak bisa diterapkan untuk kegiatan pengawasan negara.
"Kalau sewa biasanya untuk keperluan sipil namun untuk militer biasanya punya sendiri. Sebagai ilustrasi, untuk pengambilan photo kelas UAV yang short range, untuk perkebunan dengan hanya beberapa luas wiliayah, sekitar Rp 10 juta sampai Rp 30 juta, tergantung dengan perjanjiannya pekerjaannya," papar Mohammad.
Oleh karena itu, katanya, akan lebih menguntungkan jika riset terkait drone terus dilakukan sampai bisa memproduksi banyak PUNA untuk banyak fungsi. Keuntungannya adalah, selain menciptakan lapangan kerja baru, drone buatan sendiri juga bisa dikostumisasi sesuai kebutuhan, bahkan kerahasiaan negara lebih terjamin.
"Secara ekonomi memang tidak terjadi capital flight karena duit mengalir di negeri kita sendiri. Yang paling penting adalah jaminan keamanan rahasia negara. Beda sekali jika kita menyewa atau membeli dari asing. Selain itu kita juga bisa menekan risiko terhadap nyawa pilot dan operator," kata Mohammad.
PUNA buatan dalam negeri diberi nama Wulung yang merupakan hasil keroyokan antara PT Dirgantara Indonesia untuk mengurusi produksi, Lembaha Elektronik Nasional (LEN) untuk sistem komunikasi dan elektronik, serta BPPT untuk bagian riset dan pengembangan.
Dikatakan pemerhati persenjataan militer, Haryo Ajie Nogoseno, Wulung nantinya akan ditemani oleh 4 unit drone baru bernama Heron. Wulung dan Heron akan bersanding di Lapangan Udara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.
"Heron dapat terbang sejauh 350 km dan mampu terbang terus menerus hingga 52 jam. Dengan kecepatan maksimum 207 km/jam, Heron dengan ketinggian terbang hingga 10.000 meter memang layak menjadi spy plane. Sedangkan Wulung memiliki jarak jelajah 200 km yang di dukung mobile ground station, hanya dimungkinkan untuk pengamatan data secara realtime," papar pendiri situs Indomiliter.com ini.Teknologi Drone yang Belum Dikuasai RI Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) terus mengembangkan kemampuan teknologi pesawat nirawak (drone). Saat ini BPPT sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung dan Sriti, yang mana keduanya didesain untuk pengawasan perairan laut Indonesia.
Meski sudah mampu membuat pesawat nirawak secara mandiri, Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, mengakui penguasaan teknologi masih belum sepenuhnya dimiliki.
"Untuk desain pesawat kita sudah 100 persen kita sendiri. Tapi untuk sistem komunikasi, sistem kendali mash tergantung dengan komponen dari Eropa maupun Amerika Serikat," jelas Joko kepada VIVanews, Senin malam, 25 Juni 2014.
Bagian yang belum dikuasai itu merupakan bagian yang vital dalam pengawasan sebuah wilayah. Misalnya, pasa sisten komunikasi terdapat komponen kamera, muatan pesawat dan sensor, dan RI masih menggantungkan pada pasokan dari negara asing.
Namun BPPT terus mengembangkan komponen dari dalam negeri. Beberapa komponen pesawat nirawak yang sudah dibuat mandiri oleh Indonesia yaitu komponen untuk menghitung perbedaan tekanan udara agar mengetahui kecepatan pesawat.
"Sekarang kami sedang kembangkan komputer kendali terbang baik yang di pesawat maupun yang di darat. Software Ground Station juga sudah dibuat sendiri," jelas Joko.
Joko tak khawatir dengan membeli komponen sistem komunikasi dari luar bakal menimbulkan celah penyadapan pada data pengawasan.
Menurutnya, dengan pengetahuan mendalam pada program komunikasi, data pengawasan bisa dikelola secara aman.
"Yang penting kita bisa akses ke program, bisa ubah program, integrasi maupun troubleshooting sendiri. Itu nilai tambah," kata dia yang tetap menggarisbawahi kemandirian teknologi pesawat nirawak.
Transfer Teknologi
Upaya penguasaan teknologi tak dilupakan oleh BPPT. Joko mengatakan BPPT tengah mendidik pengembangan sumber daya manusia, agar nantinya mampu menguasai teknologi nirawak secara khusus.
"Ada yang kami sekolahkan ke luar negeri, harus ada strategi ini supaya mereka nanti dedicated untuk teknologi pesawat nirawak," ujarnya.
Upaya penguasaan teknologi ini juga melalui transfer teknologi, yang diamanahkan dalam UU NOmor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Dalam undang-undang itu tercantum amanah tranfer teknologi harus tercapai dalam setiap pembelian alutsista, termasuk alat yang merupakan bagian pesawat nirawak.
"Dari negara manapun, itu harus mengacu pada pokom transfer teknologi," ujarnya.Sejauh Mana Pengembangan Teknologi Drone RI? LSU 02 ujicoba di Diponegoro Class
Drone atau pesawat nirawak untuk pengawasan, menjadi topik hangat beberapa hari lalu, saat menjadi bahasan debar capres sesi ketiga antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo. Tak hanya seru di debat, topik drone juga ramai dibicarakan di sosial media.
Sejauh ini kemampuan Indonesia untuk mengembangkan teknologi pesawat nirawak itu sudah berjalan. Pengembangan teknologi pesawat nirawak itu dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Kepala Program Pesawat Udara Nirawak (PUNA) BPPT, Joko Purwono, kepada VIVAnews, Senin malam, 25 Juni 2014 mengatakan institusinya sudah mengembangkan pesawat nirawak Wulung, yang tengah diproduksi, dan pesawat nirawak Sriti.
"Sedang diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, Bandung dan digunakan Balitbang Kementerian Pertahanan," kata dia.
Menurutnya dengan kemampuan daya jelajah 200 km, PUNA Wulung bisa dimanfaatkan untuk pengawasan di perbatasan, misalnya di Kalimantan bagian Utara. Namun untuk pengawasan itu diperlukan dukungan base station, sebagai lokasi pendaratan pesawat nirawak itu.
"Pulau Kalimantan itu kan panjangnya sampai 2000 Km, itu harus ada base station. Setidaknya di Kalimantan butuh 4 base station," katanya.
Untuk menjangkau pengawasan seluruh wilayah Indonesia, menurutnya butuh 25 titik base station.
Joko mengakui selama ini pesawat nirawak yang dikembangkan masih untuk memasok untuk kebutuhan pengawasan di wilayah perairan Indonesia. Sama pentingnya, pengawasan di perairan didorong untuk menekan pencurian ikan.
Ditambahkan Joko, pesawat nirawak yang dikembangkan BPPT, masih memiliki keterbatasan yaitu ketinggian terbang, lama terbang dan muatan yang dibawa.
Wulung, jelasnya, hanya mampu terbang dengan ketinggian 12-14 ribu kaki, terbang 6 jam dan tak mampu terbang sampai di atas awan.
"Tidak bisa lihat (area pengawasan) jika di atas awan. Kalau cuaca bagus (Tak ada awan) bisa terbang sampai 20 ribu kaki, tapi jangkauannya 150 km, dan di titik itu nggak bisa online kirim data," katanya.
Ia menambahkan pesawat nirawak Wulung mampu mengirimkan data pengawasan secara realtime dalam terbang ketinggian normal.
Untuk itu, BPPT dalam lima tahun mendatang manargetkan mampu kembangkan pesawat nirawak dengan kemampuan lebih dari Wulung. Pesawat itu dinamakan Medium Altitude Long Endurance (MALE).
Pesawat ini lebih besar dari Wulung, mampu terbang lebih tinggi dan memiliki kelengkapan fasilitas muatan untuk kebutuhan pengintaian.
Data terbangnya lebih dari 20 jam dalam sehari, terbang dalam ketinggian 20-30 ribu kaki.
"Muatannya bukan kamera saja, tapi radar untuk melihat benda di bawah awan," katanya.
Pengembangan pesawat nirawak MALE itu akan didanai oleh Kementerian Pertahanan.
0 komentar:
Post a Comment