Negara Bisa Dapat Rp 10 T dari Harga Baru Gas Tangguh Pemerintah masih mencari celah agar mendapatkan tambahan pemasukan negara agar memperkecil defisit APBN 2014. Salah satunya dengan mempercepat selesainya renegosiasi kontrak penjualan gas Tangguh ke Fujian, Tiongkok. Diperkirakan tambahan pemasukan negara mencapai US$ 1,075 atau kurang lebih Rp 10 triliun/tahun.
"Renegosiasi kontrak gas Fujian terus berjalan, akhir bulan ini kira-kira sudah bisa closing," ujar Menteri ESDM Jero Wacik dalam Rapat dengan Badan Anggaran DPR, Kamis (5/6/2014).
Jero optimistis pihak CNNOC (perusahaan Migas Tiongkok) menyetujui permintaan kenaikkan harga jual dalam kontrak penjualan gas, karena perubahan harga sudah pernah dilakukan pada 2006.
"Ini harga awal kan US$ 2,4/mmbtu kemudian sudah dinaikkan jadi US$ 3,34 per mmbtu di 2006, sekarang itu kita renegosiasi, mereka (CNNOC) menyetujui US$7/mmbtu. Saya mau naik lagi jadi US$ 9/mmbtu," kata Jero.
Dengan harga gas Fujian naik dari US$ 3,34 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu saja, maka negara akan mendapatkan tambahan pemasukan sebesar US$ 1,075 miliar dari ekspor gas.
"Kalau US$ 8 maka bisa mendapatkan tambahan pendapatan US$ 1,075 miliar," tutupnya.
Saat ini, harga gas Tangguh Papua di Indonesia yang diekspor ke Fujian hanya US$ 3,34 per mmbtu.(rrd/hen)Dulu Jepang Berburu Gas, Tapi RI Pilih Jual Murah ke Tiongkok Pemerintah telah berhasil merenegosiasi harga gas alam cair (LNG) ekspor Tangguh, Papua ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu. Namun bila melihat sejarahnya dulu, Jepang siap membeli mahal LNG dari Indonesia, tapi pemerintah justru menjual ke Tiongkok dengan harga yang murah.
Hal tersebut seperti diungkapkan pengamat perminyakan dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies Kurtubi.
Menurut Kurtubi, melihat sejarahnya, pada 2002 penjualan gas ke Tiongkok menjadi permasalahan, karena pemerintah menjualnya dengan harga murah yakni hanya US$ 2,4 per mmbtu dan maksimal US$ 3,35 per mmbtu, dengan berdasarkan harga patokan minyak Jepang (Jepang Crude Cocktail/JCC) maksimal US$ 38 per barel.
"Padahal saat itu Jepang itu berburu gas, berapapun dia siap beli, tapi kita justru jualnya ke Fujian, tentu ini jadi pertanyaan, mengapa dijual murah, kenapa ke Fujian, siapa aktor di balik penjualan ini," ujar Kurtubi kepada detikFinance, Selasa (1/7/2014).
Kurtubi memberikan bukti, Jepang mau membeli gas yang jumlahnya sedikit yang ada di Sulawesi yakni Donggi Senoro. Bahkan jauh sebelumnya atau 15 tahun sebelum menjual gas murah ke Fujian, pemerintah sudah menjual LNG Badak, Kalimantan Timur ke Jepang.
"Harga jual gas ke Jepang itu tidak ada batas maksimal, mengikuti berapa harga minyak bumi, kalau minyaknya naik seperti saat ini US$ 100 per barel harga LNG Badak ke Jepang naik US$ 16 per mmbtu, tidak perlu repot-repot renegosiasi, gas ke Fujian ini mengapa kok dijual murah dengan mekanisme maksimal US$ 3,35 per mmbtu," ungkapnya.
Ia menambahkan, apalagi penunjukan operator LNG Tangguh yakni BP (British Petroleum) ini juga aneh, karena PT Pertamina (Persero) mampu mengelola Blok Tangguh.
"Buktinya apa? Pertamina sudah berhasil mengelola LNG Arun dan LNG Badak, semua fasilitas yang dibangun juga 100% bukan berasal dari APBN, tapi kok yang ditunjuk BP," ungkapnya lagi.
Kurtubi menambahkan, dirinya mengapresiasi keberhasilan pemerintah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual LNG Tangguh ke Fujian dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu, namun sebenarnya Indonesia masih rugi mengekspor gas ke Tiongkok.
"PLN saja membeli gas di dalam negeri US$ 9-10 per mmbtu, ini jual ke negara lain hanya US$ 8 per mmbtu, ini kan masih rugi kita, tapi namanya sudah kontrak jangka panjang 25 tahun sejak 2002, ya kita apresiasi lah keberhasilan ini daripada harganya tetap US$ 3,35 per mmbtu," tutupnya.(rrd/dnl)Gas Tangguh Papua Dijual Murah di 2002 Penjualan gas dari Lapangan Tangguh di Papua telah dilakukan sejak 2002, ke Fujian di Tiongkok dan Sempra di Amerika Serikat (AS). Gas ini memang dijual murah dan berkontrak panjang hingga 2034. Kenapa?
Menteri ESDM Jero Wacik menceritakan sejarah penjualan gas yang harganya disepakati US$ 2,4 per mmbtu di 2002 lalu. Harga ini tidak bisa dinaikkan meski harga minyak sudah melambung tinggi.
"Tangguh di Papua Barat itu ada gas besar sekali. Diolah, dibor di situ oleh operatornya adalah BP (British Petroleum). Itu kontrak yang terjadi tahun 2002. Jumlahnya 40 kargo per tahun. Kontraknya berlaku sampai 2034. Jadi sampai dengan tahun 2034, itu kontrak Tangguh," kata Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Adapun dalam kontrak tersebut, lanjut Jero, hasil dari produksi dua blok tersebut adalah untuk kepentingan ekspor yakni kepada Fujian dan Sempra.
"Ada dua blok, itu kontraknya seluruhnya diekspor, 100% ekspor. Sebagian ke Fujian, sebagian ke Sempra, Amerika Serikat. Jadi 0% yang untuk domestik," lanjut Jero.
Jero menyebutkan, kala itu harga gas ekspor yang ditetapkan mengacu pada Japan Crude Cocktail (JCC) atau harga acuan minyak Jepang. Namun demikian, masalah timbul lantaran pada penetapan harga acuan tersebut, dipatok harga maksimal JCC US$ 26 per barel.
Alhasil, harga tersebut bertahan selama masa kontrak, sehingga dianggap kemurahan. Apalagi harga JCC semakin meningkat.
"Rumusnya waktu itu, 5,25% x JCC + 1,35 (FOB/free on board) itu harga di Tangguh. JCC itu harga minyak mentah di Jepang yang jadi patokan kita waktu itu. Nah, harga JCC-nya dipatok maksimum US$ 26 per barel tidak boleh lebih. Itu yang menyebabkan, harga gas kita ke Fujian dari Tangguh jadi terpatok. Dengan rumus tadi, maka harganya menjadi US$ 2,7 per mmbtu dan tidak bisa naik," papar Jero.
Jero mengatakan, proyek LNG Tangguh, Papua ini disusun di tengah berbagai keterbatasan saat itu, di mana Indonesia tidak dalam posisi tawar yang baik dalam menetapkan rumusan dan harga keekonomian gas yang diekspor dari blok migas tersebut.
"Kenapa harganya tidak bisa naik, karena kontraknya bunyinya seperti itu. Saya yakin situasi saat itu juga sulit. Makanya bunyi kontraknya seperti itu. Jadi jangan menyalahkan masa lalu," tegas Jero.
Melihat kondisi tersebut, diakui Jero, Pemerintah sendiri bukan tanpa usaha untuk memperbaiki harga sehingga posisi tawar Indonesia menjadi lebih baik.
"Tahun 2006 diadakan renegosiasi, dapat sedikit naik, harga JCC-nya dinaikkan menjadi US$ 38 per barel. Dengan rumus itu, maka harga gas kta adalah US$ 3,3 per mmbtu. Itu tahun 2006. Kemudian tahun 2010, sempat diadakan renegosiasi tapi tidak berhasil. Nah, di 2011, saya menjadi Menteri ESDM bulan Oktober. Salah satu tugas saya memperbaiki lagi harga ke Fujian," kata Jero.
"Bapak Presiden ada pertemuan dengan Presiden Tiongkok. Bapak Presiden ketika itu menyampaikan agar perjanjian yang di Fujian untuk direnegosiasi, masa harga (minyak) dunia sudah US$ 100 per barel, di Fujian masih US$ 38 per barel. Itu kan tidak fair, tidak adil. Dan yang terbaru kemarin kita berhasi teken renegosiasi di 20 Juni 2013," jelasnya.Luluhkan Tiongkok Pakai Cerita Majapahit Pemerintah telah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual gas Tangguh ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi sekitar US$ 8 per mmbtu. Menteri ESDM Jero Wacik menceritakan keberhasilannya meluluhkan Tiongkok sehingga mau renegosiasi kontrak.
"Sebelum saya ke Beijing, saya sudah ditakut-takuti, kalau Presiden CNOOC (China National Offshore Oil Corporation) Mr. Wan orangnya kaku, cool, sangat dingin, sehingga pasti gagal renegosiasi," ucap Jero Wacik kepada wartawan di kantornya, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Jero mengungkapkan, meski ditakut-takuti, dirinya optimistis, karena sebelumnya antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping sudah bertemu sebelumnya dan menyatakan bersedia renegosiasi.
"Ketika bertemu di Beijing, saya dengan presiden CNOOC, saya ceritain dulu bahwa sejak abad k3-7 bagaimana kejayaan Sriwijaya dan Majapahit bersahabat dengan Tiongkok, bagaimana utusan China Putri Campa dan Laksama Ceng Ho masuk ke Indonesia pada abad 14, kita saling berkunjung, jadi sudah seharusnya bersahabat juga dengan merenegosiasi kontrak ini," tutur Jero.
Jero menambahkan, setelah cerita panjang lebar, Presiden CNOOC akhirnya luluh juga dan bersedia merenegosiasi.
"Hasilnya per 1 Juli 2014 berlaku harga LNG Tangguh yang baru yakni US$ 8 per mmbtu, dan menghapus harga patokan Japan Crude Cocktail (JCC) price, jadi harga gasnya nanti tidak dipatok hanya US$ 8 per mmbtu saja, tapi bisa naik-turun seiring harga minyak JCC," ungkap Jero.(rrd/dnl)Keberhasilan Renegosiasi Gas Tangguh di Zaman Saya Pemerintah berbangga bisa berhasil merenegosiasi harga gas Tangguh, Papua yang dijual murah ke Fujian di Tiongkok. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik meluapkan kegembiraannya.
Jero menceritakan, atas keberhasilan renegosiasi ini, banyak pihak yang mengapresiasi, mulai dari Presiden SBY hingga para pengamat yang dulu selalu mengkritik mengapa gas Indonesia dijual murah ke Tiongkok.
"Tadi malam saja saya sembahyang berucap syukur berulang-ulang kepada Tuhan atas berhasilnya renegosiasi ini, ini akan dicatat dalam sejarah kita, keberhasilan di zaman Menteri ESDM-nya Jero Wacik," kata Jero di kantornya Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Pemerintah memang telah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual gas Tangguh ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi sekitar US$ 8 per mmbtu.
"Hasilnya per 1 Juli 2014 berlaku harga LNG Tangguh yang baru yakni US$ 8 per mmbtu, dan menghapus harga patokan Japan Crude Cocktail (JCC) price, jadi harga gasnya nanti tidak dipatok hanya US$ 8 per mmbtu saja, tapi bisa naik-turun seiring harga minyak JCC," ungkap Jero.(dnl/hen)Harga Gas Tangguh US$ 8 per MMBTU, Harga Pasaran US$ 15 per MMBTU Pemerintah berhasil menaikkan harga ekspor gas Tangguh Papua ke Fujian, Tiongkok dari US$ 3,3 per MMBTU menjadi US$ 8 per MMBTU. Angka baru ini ternyata masih di bawah harga pasar ekspor gas Indonesia US$ 15 per MMBTU.
Menteri ESDM Jero Wacik mengakui, kesepakatan harga baru ekspor gas Tangguh ke Fujian yang hanya US$ 8 per MMBTU masih jauh dari harga jual gas Indonesia.
"Tapi inikan kontrak dulu, sudah ada kontraknya, kita berusaha untuk naikkan karena terlalu murah. Kalau mereka (Fujian) tidak mau kita tidak bisa apa-apa, justru hasil renegosiasi ini luar biasa, di luar dugaan saya," ungkap Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Jero menegaskan, bila ada kontrak penjualan gas baru, apalagi yang diekspor ke luar negeri, dia tidak mau menyetujui dengan harga yang murah.
"Kalau sekarang paling murah US$ 9 per MMBTU, kalau di bawah itu langkahi dulu saya Jero Wacik, harga gas ekspor kita saat ini ada yang US$ 13,5, ada yang US$ 14, ada yang US$ 15 per MMBTU," tegas Jero.
Ia mengungkapkan, dengan keberhasilan tim renegosiasi yang dipimpinnya untuk menaikkan harga gas Tangguh ke Fujian US$ 8 per MMBTU nanti ke depannya pasti akan dipermasalahkan orang, kenapa harganya hanya US$ 8 per MMBTU? Kenapa tidak lebih dari US$ 13 per MMBTU.
"Dari US$ 3,3 per MMBTU naik jadi US$ 8 per MMBTU saya sudah bersyukur, doa terimakasih sama Tuhan, terima kasih Tuhan di era Jero Wacik memimpin ESDM, gas Fujian harganya bisa naik US$ 8 per MMBTU, di mana untuk mencapai itu kita babak belur, harus pakai cerita Majapahit, Sriwijaya, kalau ada yang protes nanti berhadapan dengan saya," ungkapnya.
"Terkait kenapa dulu harganya US$ 3,3 per MMBTU jangan kita persalahkan, karena saya yakin waktu itu kondisinya sulit, tidak bisa disamakan dengan sekarang," tutupnya.(rrd/dnl) Tanggapan Chairul Tanjung Pemerintah berhasil menaikkan harga ekspor gas Tangguh Papua ke Fujian, Tiongkok, dari US$ 3,3 per MMBTU menjadi US$ 8 per MMBTU. Namun angka baru ini ternyata masih di bawah harga pasar ekspor gas Indonesia, yaitu US$ 15 per MMBTU.
Menko Perekonomian Chairul Tanjung mengakui capaian ini belum sesuai dengan harga pasar ekspor gas. Namun setidaknya dengan US$ 8 per MMBTU sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Ya sudah, alhamdulillah dulu," ujar CT, sapaan Chairul Tanjung, di kantornya, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Dari hasil rengosiasi tersebut, CT mengatakan, sudah disepakati bahwa harga ekspor akan meningkat setiap tahun berdasarkan rumusan yang sudah ditetapkan. "Ini US$ 8 per MMBTU tidak final. Nanti kan setiap tahun bisa naik, sudah ada rumusannya," katanya.
Pemerintah akan terus berupaya untuk meningkatkan harga ekspor gas agar semakin mendekati dan sampai pada level harga pasar. "Kalau kita ingin nanti lebih tinggi harus di-renegosiasi lagi. Tidak mudah melakukan renegosiasi karena kita harus meng-honest kontrak yang sudah ada," kata CT.(mkl/hds)
"Renegosiasi kontrak gas Fujian terus berjalan, akhir bulan ini kira-kira sudah bisa closing," ujar Menteri ESDM Jero Wacik dalam Rapat dengan Badan Anggaran DPR, Kamis (5/6/2014).
Jero optimistis pihak CNNOC (perusahaan Migas Tiongkok) menyetujui permintaan kenaikkan harga jual dalam kontrak penjualan gas, karena perubahan harga sudah pernah dilakukan pada 2006.
"Ini harga awal kan US$ 2,4/mmbtu kemudian sudah dinaikkan jadi US$ 3,34 per mmbtu di 2006, sekarang itu kita renegosiasi, mereka (CNNOC) menyetujui US$7/mmbtu. Saya mau naik lagi jadi US$ 9/mmbtu," kata Jero.
Dengan harga gas Fujian naik dari US$ 3,34 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu saja, maka negara akan mendapatkan tambahan pemasukan sebesar US$ 1,075 miliar dari ekspor gas.
"Kalau US$ 8 maka bisa mendapatkan tambahan pendapatan US$ 1,075 miliar," tutupnya.
Saat ini, harga gas Tangguh Papua di Indonesia yang diekspor ke Fujian hanya US$ 3,34 per mmbtu.(rrd/hen)Dulu Jepang Berburu Gas, Tapi RI Pilih Jual Murah ke Tiongkok Pemerintah telah berhasil merenegosiasi harga gas alam cair (LNG) ekspor Tangguh, Papua ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu. Namun bila melihat sejarahnya dulu, Jepang siap membeli mahal LNG dari Indonesia, tapi pemerintah justru menjual ke Tiongkok dengan harga yang murah.
Hal tersebut seperti diungkapkan pengamat perminyakan dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies Kurtubi.
Menurut Kurtubi, melihat sejarahnya, pada 2002 penjualan gas ke Tiongkok menjadi permasalahan, karena pemerintah menjualnya dengan harga murah yakni hanya US$ 2,4 per mmbtu dan maksimal US$ 3,35 per mmbtu, dengan berdasarkan harga patokan minyak Jepang (Jepang Crude Cocktail/JCC) maksimal US$ 38 per barel.
"Padahal saat itu Jepang itu berburu gas, berapapun dia siap beli, tapi kita justru jualnya ke Fujian, tentu ini jadi pertanyaan, mengapa dijual murah, kenapa ke Fujian, siapa aktor di balik penjualan ini," ujar Kurtubi kepada detikFinance, Selasa (1/7/2014).
Kurtubi memberikan bukti, Jepang mau membeli gas yang jumlahnya sedikit yang ada di Sulawesi yakni Donggi Senoro. Bahkan jauh sebelumnya atau 15 tahun sebelum menjual gas murah ke Fujian, pemerintah sudah menjual LNG Badak, Kalimantan Timur ke Jepang.
"Harga jual gas ke Jepang itu tidak ada batas maksimal, mengikuti berapa harga minyak bumi, kalau minyaknya naik seperti saat ini US$ 100 per barel harga LNG Badak ke Jepang naik US$ 16 per mmbtu, tidak perlu repot-repot renegosiasi, gas ke Fujian ini mengapa kok dijual murah dengan mekanisme maksimal US$ 3,35 per mmbtu," ungkapnya.
Ia menambahkan, apalagi penunjukan operator LNG Tangguh yakni BP (British Petroleum) ini juga aneh, karena PT Pertamina (Persero) mampu mengelola Blok Tangguh.
"Buktinya apa? Pertamina sudah berhasil mengelola LNG Arun dan LNG Badak, semua fasilitas yang dibangun juga 100% bukan berasal dari APBN, tapi kok yang ditunjuk BP," ungkapnya lagi.
Kurtubi menambahkan, dirinya mengapresiasi keberhasilan pemerintah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual LNG Tangguh ke Fujian dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu, namun sebenarnya Indonesia masih rugi mengekspor gas ke Tiongkok.
"PLN saja membeli gas di dalam negeri US$ 9-10 per mmbtu, ini jual ke negara lain hanya US$ 8 per mmbtu, ini kan masih rugi kita, tapi namanya sudah kontrak jangka panjang 25 tahun sejak 2002, ya kita apresiasi lah keberhasilan ini daripada harganya tetap US$ 3,35 per mmbtu," tutupnya.(rrd/dnl)Gas Tangguh Papua Dijual Murah di 2002 Penjualan gas dari Lapangan Tangguh di Papua telah dilakukan sejak 2002, ke Fujian di Tiongkok dan Sempra di Amerika Serikat (AS). Gas ini memang dijual murah dan berkontrak panjang hingga 2034. Kenapa?
Menteri ESDM Jero Wacik menceritakan sejarah penjualan gas yang harganya disepakati US$ 2,4 per mmbtu di 2002 lalu. Harga ini tidak bisa dinaikkan meski harga minyak sudah melambung tinggi.
"Tangguh di Papua Barat itu ada gas besar sekali. Diolah, dibor di situ oleh operatornya adalah BP (British Petroleum). Itu kontrak yang terjadi tahun 2002. Jumlahnya 40 kargo per tahun. Kontraknya berlaku sampai 2034. Jadi sampai dengan tahun 2034, itu kontrak Tangguh," kata Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Adapun dalam kontrak tersebut, lanjut Jero, hasil dari produksi dua blok tersebut adalah untuk kepentingan ekspor yakni kepada Fujian dan Sempra.
"Ada dua blok, itu kontraknya seluruhnya diekspor, 100% ekspor. Sebagian ke Fujian, sebagian ke Sempra, Amerika Serikat. Jadi 0% yang untuk domestik," lanjut Jero.
Jero menyebutkan, kala itu harga gas ekspor yang ditetapkan mengacu pada Japan Crude Cocktail (JCC) atau harga acuan minyak Jepang. Namun demikian, masalah timbul lantaran pada penetapan harga acuan tersebut, dipatok harga maksimal JCC US$ 26 per barel.
Alhasil, harga tersebut bertahan selama masa kontrak, sehingga dianggap kemurahan. Apalagi harga JCC semakin meningkat.
"Rumusnya waktu itu, 5,25% x JCC + 1,35 (FOB/free on board) itu harga di Tangguh. JCC itu harga minyak mentah di Jepang yang jadi patokan kita waktu itu. Nah, harga JCC-nya dipatok maksimum US$ 26 per barel tidak boleh lebih. Itu yang menyebabkan, harga gas kita ke Fujian dari Tangguh jadi terpatok. Dengan rumus tadi, maka harganya menjadi US$ 2,7 per mmbtu dan tidak bisa naik," papar Jero.
Jero mengatakan, proyek LNG Tangguh, Papua ini disusun di tengah berbagai keterbatasan saat itu, di mana Indonesia tidak dalam posisi tawar yang baik dalam menetapkan rumusan dan harga keekonomian gas yang diekspor dari blok migas tersebut.
"Kenapa harganya tidak bisa naik, karena kontraknya bunyinya seperti itu. Saya yakin situasi saat itu juga sulit. Makanya bunyi kontraknya seperti itu. Jadi jangan menyalahkan masa lalu," tegas Jero.
Melihat kondisi tersebut, diakui Jero, Pemerintah sendiri bukan tanpa usaha untuk memperbaiki harga sehingga posisi tawar Indonesia menjadi lebih baik.
"Tahun 2006 diadakan renegosiasi, dapat sedikit naik, harga JCC-nya dinaikkan menjadi US$ 38 per barel. Dengan rumus itu, maka harga gas kta adalah US$ 3,3 per mmbtu. Itu tahun 2006. Kemudian tahun 2010, sempat diadakan renegosiasi tapi tidak berhasil. Nah, di 2011, saya menjadi Menteri ESDM bulan Oktober. Salah satu tugas saya memperbaiki lagi harga ke Fujian," kata Jero.
"Bapak Presiden ada pertemuan dengan Presiden Tiongkok. Bapak Presiden ketika itu menyampaikan agar perjanjian yang di Fujian untuk direnegosiasi, masa harga (minyak) dunia sudah US$ 100 per barel, di Fujian masih US$ 38 per barel. Itu kan tidak fair, tidak adil. Dan yang terbaru kemarin kita berhasi teken renegosiasi di 20 Juni 2013," jelasnya.Luluhkan Tiongkok Pakai Cerita Majapahit Pemerintah telah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual gas Tangguh ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi sekitar US$ 8 per mmbtu. Menteri ESDM Jero Wacik menceritakan keberhasilannya meluluhkan Tiongkok sehingga mau renegosiasi kontrak.
"Sebelum saya ke Beijing, saya sudah ditakut-takuti, kalau Presiden CNOOC (China National Offshore Oil Corporation) Mr. Wan orangnya kaku, cool, sangat dingin, sehingga pasti gagal renegosiasi," ucap Jero Wacik kepada wartawan di kantornya, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Jero mengungkapkan, meski ditakut-takuti, dirinya optimistis, karena sebelumnya antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping sudah bertemu sebelumnya dan menyatakan bersedia renegosiasi.
"Ketika bertemu di Beijing, saya dengan presiden CNOOC, saya ceritain dulu bahwa sejak abad k3-7 bagaimana kejayaan Sriwijaya dan Majapahit bersahabat dengan Tiongkok, bagaimana utusan China Putri Campa dan Laksama Ceng Ho masuk ke Indonesia pada abad 14, kita saling berkunjung, jadi sudah seharusnya bersahabat juga dengan merenegosiasi kontrak ini," tutur Jero.
Jero menambahkan, setelah cerita panjang lebar, Presiden CNOOC akhirnya luluh juga dan bersedia merenegosiasi.
"Hasilnya per 1 Juli 2014 berlaku harga LNG Tangguh yang baru yakni US$ 8 per mmbtu, dan menghapus harga patokan Japan Crude Cocktail (JCC) price, jadi harga gasnya nanti tidak dipatok hanya US$ 8 per mmbtu saja, tapi bisa naik-turun seiring harga minyak JCC," ungkap Jero.(rrd/dnl)Keberhasilan Renegosiasi Gas Tangguh di Zaman Saya Pemerintah berbangga bisa berhasil merenegosiasi harga gas Tangguh, Papua yang dijual murah ke Fujian di Tiongkok. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik meluapkan kegembiraannya.
Jero menceritakan, atas keberhasilan renegosiasi ini, banyak pihak yang mengapresiasi, mulai dari Presiden SBY hingga para pengamat yang dulu selalu mengkritik mengapa gas Indonesia dijual murah ke Tiongkok.
"Tadi malam saja saya sembahyang berucap syukur berulang-ulang kepada Tuhan atas berhasilnya renegosiasi ini, ini akan dicatat dalam sejarah kita, keberhasilan di zaman Menteri ESDM-nya Jero Wacik," kata Jero di kantornya Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Pemerintah memang telah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual gas Tangguh ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi sekitar US$ 8 per mmbtu.
"Hasilnya per 1 Juli 2014 berlaku harga LNG Tangguh yang baru yakni US$ 8 per mmbtu, dan menghapus harga patokan Japan Crude Cocktail (JCC) price, jadi harga gasnya nanti tidak dipatok hanya US$ 8 per mmbtu saja, tapi bisa naik-turun seiring harga minyak JCC," ungkap Jero.(dnl/hen)Harga Gas Tangguh US$ 8 per MMBTU, Harga Pasaran US$ 15 per MMBTU Pemerintah berhasil menaikkan harga ekspor gas Tangguh Papua ke Fujian, Tiongkok dari US$ 3,3 per MMBTU menjadi US$ 8 per MMBTU. Angka baru ini ternyata masih di bawah harga pasar ekspor gas Indonesia US$ 15 per MMBTU.
Menteri ESDM Jero Wacik mengakui, kesepakatan harga baru ekspor gas Tangguh ke Fujian yang hanya US$ 8 per MMBTU masih jauh dari harga jual gas Indonesia.
"Tapi inikan kontrak dulu, sudah ada kontraknya, kita berusaha untuk naikkan karena terlalu murah. Kalau mereka (Fujian) tidak mau kita tidak bisa apa-apa, justru hasil renegosiasi ini luar biasa, di luar dugaan saya," ungkap Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Jero menegaskan, bila ada kontrak penjualan gas baru, apalagi yang diekspor ke luar negeri, dia tidak mau menyetujui dengan harga yang murah.
"Kalau sekarang paling murah US$ 9 per MMBTU, kalau di bawah itu langkahi dulu saya Jero Wacik, harga gas ekspor kita saat ini ada yang US$ 13,5, ada yang US$ 14, ada yang US$ 15 per MMBTU," tegas Jero.
Ia mengungkapkan, dengan keberhasilan tim renegosiasi yang dipimpinnya untuk menaikkan harga gas Tangguh ke Fujian US$ 8 per MMBTU nanti ke depannya pasti akan dipermasalahkan orang, kenapa harganya hanya US$ 8 per MMBTU? Kenapa tidak lebih dari US$ 13 per MMBTU.
"Dari US$ 3,3 per MMBTU naik jadi US$ 8 per MMBTU saya sudah bersyukur, doa terimakasih sama Tuhan, terima kasih Tuhan di era Jero Wacik memimpin ESDM, gas Fujian harganya bisa naik US$ 8 per MMBTU, di mana untuk mencapai itu kita babak belur, harus pakai cerita Majapahit, Sriwijaya, kalau ada yang protes nanti berhadapan dengan saya," ungkapnya.
"Terkait kenapa dulu harganya US$ 3,3 per MMBTU jangan kita persalahkan, karena saya yakin waktu itu kondisinya sulit, tidak bisa disamakan dengan sekarang," tutupnya.(rrd/dnl) Tanggapan Chairul Tanjung Pemerintah berhasil menaikkan harga ekspor gas Tangguh Papua ke Fujian, Tiongkok, dari US$ 3,3 per MMBTU menjadi US$ 8 per MMBTU. Namun angka baru ini ternyata masih di bawah harga pasar ekspor gas Indonesia, yaitu US$ 15 per MMBTU.
Menko Perekonomian Chairul Tanjung mengakui capaian ini belum sesuai dengan harga pasar ekspor gas. Namun setidaknya dengan US$ 8 per MMBTU sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Ya sudah, alhamdulillah dulu," ujar CT, sapaan Chairul Tanjung, di kantornya, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Dari hasil rengosiasi tersebut, CT mengatakan, sudah disepakati bahwa harga ekspor akan meningkat setiap tahun berdasarkan rumusan yang sudah ditetapkan. "Ini US$ 8 per MMBTU tidak final. Nanti kan setiap tahun bisa naik, sudah ada rumusannya," katanya.
Pemerintah akan terus berupaya untuk meningkatkan harga ekspor gas agar semakin mendekati dan sampai pada level harga pasar. "Kalau kita ingin nanti lebih tinggi harus di-renegosiasi lagi. Tidak mudah melakukan renegosiasi karena kita harus meng-honest kontrak yang sudah ada," kata CT.(mkl/hds)
0 komentar:
Post a Comment